Oleh: M.Pizaro Novelan Tauhidi
(Konselor Muslim dan Aktif di Kajian Zionisme Internasional)
Jika anda saya tanya perihal dimanakah negara yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010 nanti? Pasti anda akan cepat menjawab, Afrika Selatan. Lalu jika anda saya tanya siapakah kapten AS Roma saat ini? Tentu anda lugas menyebut Il Attacante, Fransesco Totti.
Sambil sesekali anda bubuhi kata-kata khas romanisti kepada saya “Jagoan gua tuh, enak aja lu”.
Akan tetapi jika kemudian pertanyaannya saya ubah, seperti negara atau wilayah manakah nantinya menjadi awal mula hembusan angin akhir zaman akan menyemilir umat muslim seperti tertuang pada agama kita? Mungkin anda akan tersenyum, atau beberapa dari anda akan menerawang ke awan dan ketika mata anda sudah kembali ke asal, jawaban juga belum anda dapat. Lantas jika anda saya tanya siapakah sahabat Nabi Muhammad SAW yang pernah bermimpi tentang kematian dirinya saat digambarkan mengeluarkan burung dari mulutnya? Mungkin saya juga akan dapat kerenyutan dahi dari anda semua, tak lebih.
Ya begitulah sepakbola telah menjadi mazhab kesekian dalam dinamika keimanan umat muslim. Yang beberapa Imamnya bernama Christian Ronaldo, Wayne Rooney, Didier Drogba, dan bahkan Benny Dolo. Mereka memiliki penganut setia bernama Jama’ah Interisti, Milanisti, Juventini, Liverpudian, Madridistas, atau Jama’ah atas nama Pendukung Indonesia Siap Mati Demi Merah Putih.
Thesa yang menyerempet konyol ini memang terasa tidak berlebihan. Bayangkan seorang wartawan Indonesia sampai polos berkata, bahwa "Bola sebagai media egaliter dan media persatu," kilah Hery Prasetyo, Jurnalis Tabloid Bola Soccer. Lebih jauh, Hery menuturkan bahwasanya "Sepak bola lebih sukses daripada serangkaian Konfrensi-konfrensi yang dilakukan untuk menyatukan seluluh umat di dunia.” Dahsyat. “Di sini tidak ada lagi sekat etnis, suku agama maupun warna kulit," lanjutnya. Berhenti di selebrasi muslimkah? Tentu tidak. Sebab seorang pendeta di sebuah kuil Budha di Thailand berkomentar lebih radikal lagi bahwa "Sepak bola telah menjadi agama dan memiliki pengikut jutaan banyak." Uniknya lagi, di Kuil itu, tahun 2000 silam, teronggok sebuah patung David Beckam, Kapten kesebelasan inggris yang kesohor itu.
Lain Asia, lain cerita. Pada rimba yang berbeda, dalam rangka festival dan konser bertajuk "Kick-off 2006 Kick-off faith", Gereja Berlin, Gereja Brandenbourg dan Gereja Berlin-Wilmersdorf menggelar sepak bola antara Imam Mesjid melawan para Pendeta dan yang menjadi hakim garisnya dari orang Yahudi.
Tak bisa dilupakan juga, ketika belasan ribu warga Jakarta dan sekitarnya yang antre berjam-jam memanfaatkan kesempatan foto bersama trofi Piala Dunia saat dipamerkan di Jakarta Convention Centre (JCC), Selasa, 26 Januari 2010. Acara tersebut merupakan rangkaian Federation Internationale de Football Association (FIFA) World Cup Trophy Tour yang disponsori Coca-Cola.
Warga sampai tulus ikhlas antre berfoto bareng trofi piala dunia yang didominasi anak muda itu, khususnya pelajar SMA yang mendapat undangan khusus dari Coca-Cola. Hanya dalam hitungan detik, hasil foto bersama trofi Piala Dunia itu bisa langsung diambil.Piala Dunia dihitung mundur oleh Televisi jauh sebelum Final itu digelar. Padahal bulan puasa, sebagai bulan suci kita saja tidak pernah kita hitung mundur. Itulah luar biasanya hegemoni kufur tersebut.
Dari Jakarta, sekarang kita terbang ke Madiun. Demi sepakbola, dalam satu hari saja ada dua anak bangsa meregang nyawa. Adalah Ahmad Fatoni (21), warga Gresik yang terjatuh ketika kereta masih berada di Kertosono; serta Ari Sulistyo (17), warga Dukuh Menanggal Surabaya yang terjatuh di Banyumas. Menurut kesaksian teman-temannya, mereka duduk di atas kereta sehingga tidak sadar menabrak kabel-kabel lalu terjatuh terpelanting ke bawah dan terlindas kereta. Dan itu terjadi sebelum pertandingan Persib Bandung dan Persebaya Surabaya, minggu 24 Januari 2010.
Fanatisme Yang Menjurus Syirik
Sebenarnya dinamika fanatisme sepakbola di Indonesia sudah berada pada level yang mengkhawatirkan. Semula penulis melihat Kajian tentang Sepakbola menjadi titik pijak pada garapan psikologi sosial ataupun sosiologi. Namun setelah melakukan penelaahan mendalam, problem sepakbola Indonesia memiliki sisi kelam yang pada ujungnya bisa dikaitkan pada hegemoni Zionisme yang bisa mencederai akidah. Terlebih, Sepakbola dan Zionisme masih minim untuk diungkap. Alhasil penulis coba menelusuri pada wilayah rel tersebut.
Kasus almarhum Fathoni dan Ari adalah puncak gunung es atas ideologi sepakbola yang begitu menipu pada level penerapannya. Hal ini setidaknya pernah penulis rasakan sendiri. Saat menjadi pelajar aliyah, penulis termasuk salah satu supporter klub terbesar di Jakarta, lengkap dengan kartu anggota-nya. Kala itu, saat di stadion, telinga dan jiwa kami begitu massif di “doktrin” tak ubahnya seperti seorang mujahid hendak menuju medan jihad.
Untuk membela klub tercinta, kami dimotivasi yel-yel tentang harga murah sebuah nyawa demi gengsi sebuah klub tercinta. Dan gila-nya lagi banyak suporter yang rata-rata remaja itu mengamini dengan sepenuh hayat. Kasus gap antara Viking dan The Jak, Aremania dan Bonekmania, sampai saat ini bisa menjadi representasinya. Kita sesama anak bangsa dan umat muslim seperti diadu sedemikian rupa oleh mereka. Hal ini kemudian berekses pada kata-kata rasis sepanjang pertandingan yang semarak dilontarkan. Tidak hanya berbuah pada selebrasi kata “sikat”, “hajar”, namun muara itu sampai juga pada aksara “bunuh!” atau “Dibunuh saja!”. Itu belum termasuk kata-kata binatang yang rasanya penulis tidak sampai hati mebeberkannya disini.
Jika anda tidak percaya, silahkan anda datang ke stadion atau coba anda simak betul-betul kala setiap tim bermain di layar kaca. Ini bukan perkara sepele. Karena Menurut Sayyid Quthb, kita mati karena membela negara yang tidak ada urusan dengan iman saja dapat dikatakan mati bukan di Jalan Allah, terlebih ini berperang demi gengsi urusan remeh temeh dunia, semisal sepakbola. Dengan yakin penulis bisa menyimpulkan ini bagian dari mati konyol.
“Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashabiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashabiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashobiyyah (fanatisme kelompok).” (HR. Abu Dawud)
Selanjutnya Rasulullah pernah menyebut kematian orang-orang yang terbunuh di bawah bendera ashabiyah sebagai mati jahiliyah. Syaikh Safiyurrahman al Mubarakfuri dalam kitab Al Ahzab As Siyasiyyah fil Islam mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barangsiapa berjuang di bawah bendera kefanatikan, bermusuhan karena kesukuan dan menyeru kepada kesukuan, serta tolong menolong atas dasar kesukuan maka bila dia terbunuh dan mati, matinya seperti jahiliyah”. (HR. Muslim)
Namun suatu yang jenaka bisa kita tarik sebagai bahan evaluasi. Bayangkan kita saja yang ngaji belum tentu siap mati demi agama, tapi mereka yang “ngaji”-nya di lapangan malah rela menggadai nyawa, walau hanya demi urusan rumput hijau. Tampak sepele dan menggelikan memang, tapi itu nyata di sekeliling kita.
Kisah Aremania dan gerakan sepuluh ribunya menjadi catatan menarik kesekian yang patut untuk dibahas. Bayangkan mereka yang rata-rata muslim itu berhasil mengumpulkan uang Rp 61 juta di tengah saudara semuslimnya di Palestina, Afganistan, Sudan, dan lain-lain berperang serta kelaparan. Bahkan dengan mengamen yang dimulai pukul 13.30 WIB dalam waktu tidak lebih dua setengah jam terkumpul uang Rp 1.828.900. Para Aremania dari Malang dan Kota Batu ini mengambil tempat di patung Apel alun-alun dan dikoordinasi langsung oleh Yuli Sumpil. Semuanya demi "Save Arema"
Bergeser ke bagian Barat. Di Bandung, ada gambaran militansi utuh digelar oleh bobotoh Persib. Untuk membantu tim kesayangannya berlaga di kompetisi Superliga Indonesia 2009/10 dan mempertahankan pemain senior supaya tidak hengkang dari Bandung, pertengahan agustus 2009 lalu, kelompok suporter Viking Persib Club bakal memberikan bantuan dana hasil patungan anggotanya. Dan ditengah geliat kemiskinan, bukan main-main Viking hanya membatasi sumbangan minimal Rp15 ribu per orang.
Menghambur-hamburkan Uang
Jika kita di atas berbicara pada level suporter, sekarang kita beranjak pada elemen kepemerintahan. Gubernur provinsi DKI Jakarta beberapa tahun yang lalu, demi kelangsungan nyawa Persija rela menggelontorkan uang Rp 23 Miliar. Tak sedikit uang itu disedot buat bayar pemain asing yang tidak jelas apa sumbangsihnya bagi negara, apalagi sumbangannya buat umat Islam. Itu semua tanpa dosa dilakukan pemerintah DKI ditengah para Pedagang Kaki Lima yang kios-kiosnya dirubuhkan. Di tengah para pedagang asongan yang dilarang mengeluarkan insting bisnisnya di perempatan lampu merah. Di tengah para pedagang kecil-kecilan yang gerobak kayunya dibakar hanya karena mengganggu jalan, dan di tengah rakyat kelaparan yang tak berapa lama statusnya cepat berganti menjadi almarhum.
Bisa disimpulkan inilah suntikan ideologi materialisme buta yang mendera akidah kita. Pemerintah DKI rela lebih memilih uang untuk membayar pemain asing ketimbang memberi makan PKL yang rata-rata mereka kelaparan dan warga asli DKI Jakarta sendiri. Jika ditanya, tak lama mereka berdalih: atas instruksi Undang-undang dan sudah sesuai prosedur hukum. Jadilah penulis seperti ingin mengatakan, “Selamat datang di negeri Materialisme, Welcome to Kabbalah’s Value”. Padahal Allah jelas berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS Al-Anfaal 27).
Dan amanah itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah,
Imam yang diangkat untuk memimpin manusia itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya). [HR. Imam al-Bukhari dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.]
Hegemoni Yahudi
Kisah diatas hanyalah segelintir catatan bagaimana Ideologi Materialisme dan Hedonisme Yahudi perlahan tanpa kita sadari tersamar dalam keIslaman kita. Gagasan yang dikonstruk dari filosofi Pagan ala Kabbalah Mesir Kuno ini memang tidak muncul dalam rupa menyeramkan. Karena Zionisme Yahudi tahu betul apa strategi yang langsung menembus titik lemah musuh-musuh-nya. Tidak usah diinvasi oleh rudal atau jet-jet canggih yang dimoncongnya bertulis KFR itu, tapi cukup dengan sepakbola umat muslim akan semakin menjauh dari cita-cita Islam, kalau tidak mau disebut kafir.
Freemason yang berpusat di Inggris memang menyebarkan pengaruhnya, salah satunya melalui olah raga yang paling popular. Sepak bola sudah menjadi ikon bisnis dunia. Program penghapusan Agama ala Freemasonry Yahudi ini menjadi tidak terlelakkan kala kita-kita juga telah menjadi agennya. Negara kita begitu bernafsu menjadi Tuan Rumah Piala Dunia, yang sama sekali tidak jelas kadar keuntungan Iman bagi umat muslim. Sebab semuanya itu demi Rupiah semata. Padahal banyak PR yang layak diselesaikan tinimbang membayang-bayangkan memenuhi Negara ini dengan dagelan sepakbola seperti itu. Masih banyak guru yang tidak sejahtera dan kualitasnya terpendam. Masih jamak anak bangsa yang potensial tapi hidup dari memungut sampah di stasiun kota. Masih menjadi mayoritas kala kita berdiskusi tentang sekolah-sekolah yang berdiri seadanya. Masih banyak kampus-kampus Islam yang perpustakaan-nya minim buku bermutu. Menyedihkan.
Jadi dengan skenario itu, tak bisa dipungkiri bahwa sepakbola adalah media pencetak uang andalan bagi Freemason. Sebagai contoh, Manchester United pernah dikuasai oleh Ruppert Murdoch, raja media Yahudi. Salah satu klub bola terkaya di dunia. Fans setia mereka sudah tersebar diseluruh penjuru dunia. Termasuk dari anak-anak kita yang tergila-gila memiliki kaosnya.
Belum lagi Chelsea, klub sepakbola yang bercokol di papan atas Liga Inggris saat ini. The Blues memiliki jutaan penggemar seantero bumi, Eropa, Amerika, Asia hingga Papua. Ia dikuasai oleh Roman Abramovich seorang Yahudi tulen. Dan uniknya di kedua logo klub tersebut terbentang gambar setan, yang notabene menjadi symbol Pagan Kabbala.
Nuansa itu semakin kental dengan sebutan MU yang tersohor sebagai The Red Devils, Si Setan Merah dan gambar tiga singa di Footbal Association (FA) mirip dengan lambang Spihnx (Manusia berkepala Singa) yang acap kita temui di loge-loge Masonik.
Bahkan ketika salah seorang fans MU di sebuah situs dikonfrontir tentang hegemoni Yahudi di MU, ia malah membalas,
“Fans MU bukan mendukung Yahudi-nya bro, tapi klubnya !!!! ini dunia olahraga coy bukan tempat SARA.”
Bayangkan, persoalan Yahudi hanya dianggap persolan SARA yang tidak kalah penting dari sebuah fanatisme sepakbola. Padahal justru Yahudilah penganut Fasisme sejati. Sudah jutaan anak-anak Palestina, Afghanistan, Sudah, Somalia, dan negera muslim lainnya merana. Ini jelas dalam Kitab Talmud Yahudi, bagaimana mereka menjadikan Talmud sebagai landasan teologis mereka untuk beraksi.
“Hanya orang-orang Yahudi yang manusia, sedangkan orang-orang non Yahudi bukanlah manusia, melainkan binatang.” (Kerithuth 6b hal.78, Jebhammoth 61a)
“Angka kelahiran orang-orang non-Yahudi harus ditekan sekecil mungkin.” (Zohar II, 4b)
“Orang Yahudi boleh berdusta untuk menipu orang kafir”. Baba Kamma 113a.
Selain itu, beberapa musim lalu, MU dengan logo setan-nya tersebut, juga ditunjang oleh sponsor Vodafone yang lambangnya mengandung Ouroboros. Jika kita mempelajari symbol-simbol Yahudi, Ouroboros termasuk ke dalam ‘Satanic Symbols’ yang memiliki arti sebagai keabadian, kesemestaan, yang juga mewakili kekuatan Lucifer.
Lalu, remaja kita juga digempur untuk selalu berfikir sepakbola. Jika kita tanya kepada pelajar SD dan SMP tentang gambaran profesi kedepan. Mereka dengan lantang menjawab,“Ingin jadi pemain bola, dong”
Menjadikan Umat yang Lalai
Main sepak bola memang tidak haram. Itu sah-sah saja. Tapi yang mengkhawatirkan adalah cita-cita itu lahir dari menjejalnya tayangan sepakbola dari malam ketemu pagi (subuh), lanjut ke sore, mahgrib, sampai ketemu malam kembali. Inilah trik musuh-musuh Allah mengatur jadwal pertandingan sedemikian rupa agar tidak berbenturan antara sesama liga-liga elit dunia dan habisnya waktu umat muslim untuk menontong sepakbola adalah keniscayaan. Coba kita telisik acara TV kita, menjelang Isya ada liga Inggris. Agak malam muncul daratan liga Italia. Dan ketika pucuk hari menggelayut saat subuh menyingsing, datanglah Lionel Messi dan kawan-kawan.
Ini juga dikonstruk oleh petinggi Indonesian Super League (ISL). Jika kita perhatikan kenapa negara dengan penganut Islam terbesar di dunia ini, ketika melaksanakan pertandingan sepakbola saja selalu berbenturan dengan waktu shalat. Kini pada sore, ISL kerap bertarung pas adzan Shalat Ashar berkumandang pukul 15.30. Kemudian saat pertandingan waktu malam, bergesekan antara waktu Maghrib dan Isya. Padahal logikanya apa susahnya PSSI menggelar waktu pertandingan malam tepat pukul delapan atau selebihnya. Atau ketika sore dilangsungkan pukul empat setelah shalat Ashar.
Ketika penulis aktif menjadi supporter, mau shalat saja susahnya bukan main. Stadion terbesar sekelas Senayan ternyata tidak memiliki cucuran air yang memadai. Bahkan tempat khusus shalat di dalam stadion saja tidak ada. Tapi kalau sudah pemenuhan daya terang, pemerintah akan mengeluarkan cucuran dana berlimpah. Sekulerisme dalam sepakbola terjadi karena memang FIFA tidak pernah menuangkan item adanya tempat ibadah di stadion sebagai suatu keharusan. Tentu ini menjadi tanda tanya apabila jargon sepakbola sebagai pemersatu digemborkan oleh FIFA.
Negara Arab pun juga demikian. Arab Saudi yang katanya ketat dalam penerapan sunnah, malah membiarkan pemainnya bermain tanpa menutup aurat. Bahkan di Mesir tahun lalu muncul fatwa boleh tak berpuasa bagi pemain sepakbola. Ya Mesir, negara yang pemerintahnya hobi berkoalisi dengan Israel itu. Seperti kelihatan konyol memang, Islam sebagai agama paripurna harus tunduk dengan sepakbola, justru di Negara yang tak akan lupa oleh sjearah, sbeagai Negara tempat turunnya para Nabi.
Malah sekarang ini ada gejala baru. Menurut sebuah berita, para pengusaha dan anggota kerajaan di negeri Arab sekarang ini berbondong-bondong membeli klub sepakbola Premier League. Tercatat ada nama Syeikh Mansour yang memiliki klub Manchester City. Ada pula Pangeran Faisal yanag tengah dalam proses membeli klub Liverpool. Yang terakhir adalah Ali Al Faraj yang membeli klub Porstmouth.
Ali Faraj ini kemudian memperkerjakan seorang Israel, Avram Grant. Grant adalah seorang Yahudi yang pernah melatih klub Chelsea, namun kemudian digantikan oleh Luis Felipe Scolari karena dianggap gagal memenuhi ekspektasi sang pemilik klub, Roman Abramovic. Di Portsmouth, Grant akan ditunjuk sebagai Direktur Sepakbola klub tersebut untuk durasi dua tahun. Grant sendiri bukanlah orang baru dalam tubuh Portsmouth. Empat tahun lalu, sebelum melatih Chelsea, ia pernah menjabat sebagai Direktur Teknik.
Itulah sekelumit bagaimana Zionisme menyerang hal-hal yang tampak sepele tapi kini menjadi bahan hiburan bagi dunia. Setiap umat muslim patut waspada, apalagi anda-anda yang bergelar mujahid dakwah. Jangan sampai terlenakan oleh perkara elementer seperti ini, dan tidak terasa bahwa musuh-musuh Allah sudah menghunguskan senjata di hidung kita.
Melihat fakta-fakta di atas dan juitaan umat muslim yang tengah menyonsong Pialada Dunia 2010, mungkin sekarang ini orang Yahudi sedang tertawa terbahak-bahak melihat umat Islam yang matanya miring dan tekantuk lalu pulas tidur hingga lupa kewajiban lima waktunya. Demi Christian Ronaldo, Demi goyangan Samba Ricardo Kaka, hingga tarian bola Sriwijaya. Dan mungkin para anggota Mason sekarang sedang tersenyum-senyum sendiri, lalu tak lama menonggakan kepala dan dengan indah bernyanyi, “Kuyakin hari ini pasti menang….oooo….aaaaaa…..oooooo…aaaaaa”
Wallahu'alam bishshawab.
Rabu, 09 Februari 2011
Zionisme dan Sepakbola: Dari Paganisme ke Lapangan Hijau
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar